
Jаkаrtа -Dalam dunia medis, pasien dalam kondisi kritis sering kali menghadapi risiko komplikasi serius akibat infeksi. Oleh karena itu, dokter menyarankan agar pemberian resep antibiotik pada pasien-pasien ini dilakukan secepat mungkin dan tepat sasaran. Hal ini bertujuan untuk menurunkan angka kematian serta mempercepat proses pemulihan.
Menurut pedoman klinis terbaru, penggunaan antibiotik pada pasien kritis harus dilakukan dalam waktu satu jam setelah diagnosis infeksi berat ditegakkan. Tindakan ini disebut sebagai “Golden Hour”, yakni waktu krusial yang dapat menyelamatkan nyawa pasien.
“Resep antibiotik harus diberikan segera pada pasien dengan sepsis atau infeksi sistemik berat. Penundaan dapat meningkatkan risiko kematian,” ujar dr. Rian Prasetya, SpPD, dokter spesialis penyakit dalam dari RSUD Cipto Mangunkusumo.
Pentingnya Diagnosa Cepat dan Tepat
Meskipun pemberian antibiotik dini sangat penting, dokter tetap diingatkan untuk tidak memberikan antibiotik secara sembarangan. Penggunaan yang tidak tepat justru dapat memperparah masalah resistensi antibiotik — salah satu ancaman kesehatan global saat ini.
Dalam banyak kasus, pasien kritis berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk menunggu hasil kultur laboratorium. Maka dari itu, dokter biasanya akan menggunakan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil uji lanjutan. Setelah penyebab infeksi diketahui secara pasti, antibiotik kemudian disesuaikan dengan hasil tersebut, praktik ini dikenal sebagai de-eskalasi terapi antibiotik.
“Langkah pertama memang harus cepat, tetapi begitu data laboratorium keluar, penyesuaian harus dilakukan. Ini penting untuk menghindari resistensi,” tambah dr. Rian.
Strategi Penggunaan Antibiotik di ICU
Di ruang perawatan intensif (ICU), antibiotik menjadi salah satu terapi andalan. Pasien yang mengalami syok septik, pneumonia berat, infeksi saluran kemih sistemik, atau infeksi luka operasi merupakan kelompok yang paling sering mendapat terapi antibiotik.
Agar penggunaan antibiotik tidak menjadi bumerang, rumah sakit umumnya telah memiliki Antimicrobial Stewardship Program (ASP) — program kendali penggunaan antibiotik yang mengedepankan kolaborasi antara dokter, apoteker, dan mikrobiolog klinis.
Beberapa strategi yang digunakan dalam ASP antara lain:
-
Pemberian antibiotik berdasarkan data lokal resistensi mikroba
-
Evaluasi terapi antibiotik dalam 48–72 jam
-
Penggunaan antibiotik sesuai durasi optimal
-
Rotasi jenis antibiotik untuk mencegah seleksi mikroba resisten
Dampak Positif dan Risiko yang Harus Dikendalikan
Pemberian antibiotik pada pasien kritis telah terbukti menurunkan angka kematian, mempercepat pemulihan, dan mengurangi lama rawat inap. Namun, risikonya tidak bisa diabaikan. Penggunaan yang berlebihan atau tidak tepat sasaran dapat menyebabkan efek samping seperti diare, kerusakan hati, hingga infeksi baru akibat mikroba resisten seperti Clostridium difficile.
Oleh karena itu, dokter dan tim medis dituntut untuk selalu melakukan evaluasi berkala, termasuk menghentikan antibiotik apabila tidak lagi diperlukan.
“Kuncinya adalah keseimbangan antara menyelamatkan pasien dan mencegah masalah kesehatan jangka panjang akibat resistensi,” jelas dr. Maya Dwinanda, M.Kes, pakar kesehatan masyarakat.
Peran Keluarga dan Pasien dalam Proses Penyembuhan
Pasien dan keluarga juga berperan penting dalam keberhasilan terapi antibiotik. Mereka diimbau untuk tidak memaksa dokter memberikan antibiotik jika tidak diperlukan, serta mengikuti seluruh instruksi pengobatan dengan benar.
Peningkatan edukasi mengenai penggunaan antibiotik juga harus menjadi fokus rumah sakit dan lembaga kesehatan. Kampanye seperti Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia dari WHO perlu terus digaungkan, agar masyarakat tidak lagi menggunakan antibiotik secara sembarangan.