
Jаkаrtа -Pidato Menteri Pertahanan sekaligus Presiden Terpilih 2024, Prabowo Subianto, di Monumen Nasional (Monas) pada peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2025, menuai reaksi keras dari sejumlah organisasi buruh. Sejumlah elemen serikat pekerja menilai orasi tersebut hanyalah bentuk pencitraan politik belaka dan tidak menyentuh akar persoalan buruh di Indonesia.
Prabowo, dalam pidatonya, mengklaim bahwa pemerintahan yang akan ia pimpin bersama Gibran Rakabuming Raka akan memperjuangkan kesejahteraan buruh, menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan menjaga stabilitas harga. Namun, pidato ini justru dinilai oleh kalangan buruh sebagai janji kosong dan tidak berdasar pada realitas kebijakan yang selama ini mendiskreditkan posisi pekerja.
Serikat Buruh Kritik Isi dan Tujuan Pidato
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Andri Gunawan, mengatakan bahwa kehadiran Prabowo di Monas tidak lebih dari upaya politik pencitraan untuk merebut hati buruh pasca Pemilu 2024.
“Prabowo datang membawa janji manis, tapi lupa bahwa selama ini ia mendukung Omnibus Law yang merugikan kami. Tidak ada keberpihakan nyata dalam rekam jejaknya terhadap buruh,” ujar Andri.
Ia menambahkan bahwa organisasi buruh merasa tidak dilibatkan secara substantif dalam proses pembuatan kebijakan. Bahkan, menurutnya, beberapa pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) justru melemahkan posisi tawar pekerja di hadapan pengusaha.
Baca : Acara Semifinal Liga Champions, Inter Milan Vs Barcelona Main Rabu Dini Hari
Janji Palsu atau Komitmen Baru?
Dalam pidatonya di Monas, Prabowo juga menegaskan pentingnya dialog sosial antara pemerintah, pengusaha, dan buruh. Ia menyebut akan membentuk dewan konsultatif buruh nasional untuk menampung aspirasi pekerja secara langsung.
Namun hal ini dianggap sebagai langkah normatif yang tidak menjawab tuntutan konkret. Sekjen Federasi Serikat Buruh Mandiri (FSBM), Lilis Hartini, menyebut bahwa janji itu tidak berbeda dari janji-janji kampanye yang tidak pernah terwujud secara nyata.
“Kami sudah terlalu sering mendengar janji soal upah layak, jaminan sosial, hingga perlindungan pekerja informal. Tapi setiap tahun, realitas di lapangan tetap sama: PHK massal, upah murah, dan perlindungan hukum yang lemah,” kata Lilis.
Buruh Tuntut Aksi Nyata, Bukan Seremoni
Momen peringatan Hari Buruh yang diwarnai aksi unjuk rasa di berbagai daerah menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap kebijakan ketenagakerjaan masih tinggi. Di Jakarta, ribuan buruh turun ke jalan membawa spanduk bertuliskan tuntutan penghapusan UU Cipta Kerja, penolakan outsourcing, serta kenaikan upah minimum secara adil.
Aktivis buruh dari Jakarta Labour Forum, Rico Simanjuntak, menyayangkan bahwa acara di Monas justru lebih berfokus pada panggung politik ketimbang substansi perjuangan buruh.
“Kami tidak butuh pidato. Kami butuh aksi nyata. Hapus outsourcing! Revisi UU Cipta Kerja! Itu tuntutan yang seharusnya dipenuhi, bukan sekadar dibacakan dari podium,” tegasnya.
Pengamat: Buruh Akan Tetap Kritis
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Fajar Adinugroho, menilai bahwa pidato Prabowo di Monas adalah bagian dari strategi komunikasi politik yang bertujuan membangun hubungan awal dengan kelompok buruh yang selama ini cenderung kritis terhadap pemerintah.
Namun, ia juga menegaskan bahwa kelompok buruh bukanlah massa yang mudah dipuaskan dengan retorika.
“Buruh adalah salah satu elemen sipil yang paling aktif mengawal kebijakan publik. Jika Prabowo tidak segera mengubah arah kebijakan tenaga kerja, maka resistensi akan terus muncul selama masa pemerintahannya,” kata Fajar.