
Jakarta –
Kasus manajemen timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan memasuki selesai putusan hakim. Salah satu yang menjadi perhatian apakah kendala ini merugikan negara Rp 300 triliun atau tidak.
Pakar Hukum Pidana, Romli Atmasasmita menekankan pentingnya mengetahui ketentuan aturan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), utamanya jika penyidik tidak mendapatkan bukti awal yang cukup.
Menurut Romli, UU Tipikor bergotong-royong sudah menertibkan jalan keluar bagi penanganan kendala yang tidak mempunyai cukup bukti pidana lewat ketentuan Pasal 32 ayat 1.
“Jika penyidik tidak mendapatkan bukti awal yang cukup, tetapi ada kerugian keuangan negara yang signifikan, maka penyidik wajib melimpahkan kendala tersebut ke Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara) untuk kemudian dijalankan somasi perdata,” terperinci Romli dalam persidangan selesai pekan lalu.
Ia memastikan dalam praktiknya, mengambarkan perbuatan melawan aturan (PMH) atau penyalahgunaan wewenang bukanlah hal yang mudah.
Oleh alasannya itu, penyusun UU memamerkan pilihan dalam Pasal 32 selaku “escape clause” bagi kejaksaan. Gugatan perdata sanggup diajukan untuk memulihkan kerugian negara, bukan lewat prosedur pidana.
“Kalau demikian, kerugian keuangan negara itu bukan norma pidana, melainkan norma perdata, menyerupai ganti rugi dalam urusan perbuatan melawan hukum,” ujar Romli.
Romli juga menerangkan perbedaan fundamental antara kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara.
Menurutnya, kerugian keuangan negara lebih gampang dibuktikan alasannya mempunyai dasar aturan yang jelas, menyerupai yang tercantum dalam UU No. 17 Tahun 2003 ihwal Keuangan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 ihwal Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Sementara itu, kerugian perekonomian negara dianggap lebih kompleks dan sukar dibuktikan alasannya batasannya tidak terperinci serta bersifat fluktuatif.
“Perekonomian negara itu cuma sanggup dilihat oleh jago ekonomi makro, bukan mikro,” tegasnya.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam (SDA), tergolong tata niaga timah, Prof. Romli berpandangan bahwa hal tersebut lebih berhubungan dengan kerugian perekonomian negara dibandingkan dengan kerugian keuangan negara.
Oleh alasannya itu, ia menganggap bahwa menentukan adanya kerugian perekonomian negara dalam waktu yang singkat merupakan hal yang menyibukkan dilakukan.
Romli juga menyinari pentingnya dakwaan yang terperinci dan cermat sesuai Pasal 143 ayat 2 aksara b KUHAP.
Dakwaan yang tidak menerangkan tugas setiap terdakwa dalam tindak kriminal sanggup dianggap kabur atau “obscure” dan potensial batal demi hukum.
“Jika dakwaannya dirunut sedemikian rupa namun tidak terlihat terperinci siapa yang melakukan, menyuruh, turut serta, atau membantu, maka dakwaan itu tergolong tidak terperinci dan sanggup batal demi hukum,” pungkas Romli.
kerugian keuangan negaraperekonomian negarapengelolaan sumber daya alamkasus timah