
Jakarta –
Pemerintah terus berusaha memberantas tunjangan online (pinjol) ilegal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyodorkan penyebab aktivitas ilegal tersebut masih menjamur di Indonesia.
Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto (IAKD) OJK Djoko Kurnijanto menyampaikan fenomena tersebut tak lepas dari masih rendahnya literasi keuangan digital penduduk Indonesia, walaupun hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 menyodorkan peningkatan.
Berdasarkan hasil SNLIK 2024, indeks literasi keuangan penduduk Indonesia sebesar 65,43%, sementara indeks inklusi keuangan sebesar 75,02%.
“Sumber dari kini ini yang timbul permasalahan di media alasannya yakni rendahnya digital financial literacy. Apakah itu penggunaan aplikasi judol, banyak yang kena pinjol ilegal umpamanya dan juga aplikasi aplikasi lain. Kenapa ini terjadi? Karena digital financial literasi yang masih rendah dan perlu ditingkatkan,” terang Djoko dalam program dalam program Pre-Event Media Gathering, di Menara OJK Radius Prawiro, Jakarta Pusat, Senin (4/11/2024).
Menurutnya, kanal keuangan digital di saat ini sungguh mudah. Setiap orang sanggup menjalankan aktivitas keuangan maupun transaksi cuma dengan satu genggaman, yakni menggunakan ponsel.
Baca juga: Fintech di RI Masih Bisa Berkembang, Bagaimana Caranya? |
Sayangnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan pengertian risiko yang terjadi di saat menjalankan aktivitas tersebut.
“Cuma masalahnya apakah mereka-mereka yang provide layanan di dalam HP ini bertanggung jawab? Dan sebaliknya apakah kita-kita yang gunakan ini regardless umurnya, regardless gender-nya, telah mengerti pengaruh risiko yang kita jalankan dengan HP kita?” tutur Djoko.
Di segi lain, ia menganggap digitalisasi ini sanggup mengakibatkan celah bagi-bagi orang yang tidak bertanggung jawab untuk menjalankan tindak kejahatan, menyerupai pinjol ilegal.
Untuk itu, pihaknya mendorong kenaikan literasi keuangan digital dengan menggelar Bulan Fintech Nasional (BFN). Melalui program tersebut, Djoko menganggap sanggup menjadi peluang pihaknya mengingatkan kembali terkait potensi risiko di keuangan digital.
“Bagaimana kita sanggup memajukan digital financial literacy. Ini yang terpenting. Ketika kita ngomongin digital di situlah potensi untuk orang menggunakan atau digunakan orang-orang tidak bertanggung jawab itu tinggi potensinya. Jadi, digital financial ini yang kurang. Kita ingin kejar selama BFN ini untuk sanggup kita saling mengingatkan kembali bahwa di balik akomodasi adanya kehadiran AI, blockchain, kripto, dan lain-lain. Di balik itu semua, masih ada potensi risiko yang mesti dikenali bersama. Inilah yang kita bangkitkan, kita tingkatkan,” terang Djoko.